DINAMIKA SISTEM KEPARTAIAN YANG MULTIPARTAI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL
Penulis Ebu Kosmas
admin
14 Dec 2024 11:59 WITA

DINAMIKA SISTEM KEPARTAIAN YANG MULTIPARTAI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL

(Dikotomi Sistem Ketatanegaraan Indonesia) 

Oleh : Ebu Kosmas 

SISTEM kepartaian yang ideal untuk sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil adalah sistem kepartaian yang sederhana yang hanya terdiri dari dua atau tiga partai politik (parpol) saja. Parpol pengusung atau pendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden pemenang pemilu adalah parpol yang berkuasa dalam koalisi pemerintahan, sementara yang kalah dalam pemilu presiden dan wakil presiden menjadi parpol oposisi yang ideal mengontrol berbagai kebijakan pemerintahan yang tidak pro atau tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak.

Dengan demikian segala yang diperjuangkan, yang dikritisi parpol yang tergabung dalam oposisi tentang berbagai kebijakan pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat, maka sebenarnya parpol yang bersangkutan telah menginvestasikan kepercayaan rakyat untuk memilih kader-kader parpol yang bersangkutan dalam pemilu berikutnya. Itupun akan lebih ideal manakala menganut sistem kepartaian yang sederhana hanya dua atau tiga partai saja.  

Berbeda dengan sistem kepartaian yang menganut banyak partai dan dibarengi sistem pemerintahan yang diidealkan oleh UUD 1945 hasil amandemen yakni sistem presidensiil sedikit banyak menimbulkan problematika ketatanegaraan RI. Dasar pemikiran sistem presidensiil yang dipraktekan di negara-negara yang menganut sistem ini seperti Indonesia misalnya, agar memberikan kedudukan yang kuat kepada presiden dalam membuat berbagai kebijakan politik penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dalam kedudukan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian dibangunnya koalisi untuk menghindari kekuatan oposisi yang kalah dalam pilpres yang dikuatirkan melebihi 5096 + 1 jumlah kursi di DPR dalam melakukan fungsi pengawasan yang kadang melampaui kewenangan yang berakibat ketidakstabilan pemerintahan dan akhirnya berdampak pada pemakzulan/pemberhentian presidern dan / atau wakil presiden (impeachment). Sistem kepartaian yang menganut banyak partai lebih ideal dipraktekan di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.  

UUD sebelum amandemen sejak merdeka menganut sistem presidensiil, walaupun dalam praktek ketatanegaraan tidak sepenuhnya menjalankan sistem presidensiil yang diidealkan. Baru setelah amandemen UUD 1945 lebih menegaskan sistem pemerintahan yang dianut yakni sistem presidensiil dengan berbagai konsekuensi dinamika ketetanegaraan.  

Reformasi telah membuka keran demokrasi yang seluas-luasnya, terutama memberikan kebebasan berpikir dan berekspresi menyampaikan pikiran dan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat melalui partai-partai politik maupun organisasi kemasyarakatan yang dapat dibentuk oleh seluruh warga negara Indonesia berdasarkan persyaratan-persyaratan sesuai peraturan hukum yang berlaku.  

Berbeda pada masa Orde Baru (rejim pemerintahan Soeharto) yang hanya terdapat dua partai politik yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP/P3), serta sebuah Golongan Karya (GOLKAR). Memang partainya sederhana dan ideal untuk sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, tapi Indonesia pada kurun waktu pemerintahan Soeharto dengan UUD sebelum amandemen tidak menganut sistem presidensiil murni. UUD sebelum amandemen salah satu ciri sistem pemerintahan sebenarnya menganut sistem campuran parlementer (guasi parlementer) yang dapat dibuktikan bahwa presiden dapat dimintai pertanggungjawaban oleh MPR yang merupakan bagian dari salah satu cabang kekuasaan legislatif.

Apabila pertanggungjawaban politik presiden ditolak, maka MPR dapat memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden melalui Sidang Istimewa yang diusulkan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan manakala terdapat indikasi presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar UUD 1945 dan GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN).

Sistem presidensiil yang mengidealkan kedudukan presiden dan wakil presiden yang kuat, tentu akan bertabrakan dengan sistem kepartaian yang menganut banyak partai, karena kendati pasangan calon presiden dan wakil presden yang diusung itu menang pilpres, tetapi dengan sistem kepartaian yang banyak agaknya mustahil parpol pengusung presiden dan wakil presiden terpilih/pemenang dapat memenangkan suara elektoral 5096 # 1 kursi DPR, kecuali partai-partai pengusung tersebut membangun koalisisi-koalisi partai yang besar.

Pertanyaannya, berapa jumlah koalisi yang ideal untuk jumlah partai politik yang sangat banyak, agar demokrasi dapat berjalan dan tidak terbelenggu oleh koalisi yang jor-joran (koalisi jumbo) sebagaimana yang kita saksikan kini (Koalisi Indonesia MAJU). Pertanyaan lanjutan, bagaimana cara mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar karena dipegang oleh partai yang berkuasa (koalisi jumbo)?  

Masyarakat tentunya bertanya yang mungkin juga tidak perlu dijawab, tentang ada apa partaipartai itu merapat dan begabung dengan presiden dan wakil presiden terpilih? Alasannya demi masyarakat, bangsa dan negara. Masyarakat mana yang mau diperjuangkan? Bukan rahasia umum lagi kalau tidak mau dikatakan untuk membagi-bagi kue kekuasaan, bahkan para parpol pendukung paslon presiden dan wakil presiden yang kalah pun ramai-ramai merapat dan bergabung dengan paslon pemenang dengan kata pemanis sekadar basa basi atas nama kebangsaan persatuan dan kesatuan.

Adi Prayitno, seorang Dosen dan Pengamat Politik, mengatakan secara ideologi politik, haram hukumnya partai-partai pendukung paslon yang kalah merapat dan berkoalisi dengan paslon pemenang, karena secara visi missi politiknya berbeda dengan pasangan calon yang menang (dalam Indonesia Lawyers Club: Adi Prayitno, vt.TikTok com: https: /vt.tiktok.com.  

Praktek berkoalisi dalam dinamika ketatanegaraan yang sedang kita saksikan sekarang pada akhirnya sedang membelenggu dan menjungkirbalikan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan berdarah-darah, mengorbankan harta dan nyawa oleh pemuda pelajar mahasiswa kita pada tahun 1998.  

Berkaitan dengan pertanyaan berapa koalisi yang paling ideal untuk membentuk sistem presidensiil yang kuat? Secara normatif, hukum Indonesia belum menjangkau sejauh itu atau belum ada ketentuan tentang batasan koalisi yang ideal. Ada kekosongan norma (rechts vacuum) dalam sistem hukum pemilu dan kepartaian di Indonesia yang menganut banyak partai, sehingga tidak terjadi sebuah pestapora berkoalisi dengan calon presiden/wakil presiden terpilih, yang tentunya akan mematikan demokrasi. Check and balances hanyalah sandiwara dan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan apabila semua parpol ikut bergabung/berkoalisi dengan partai pendukung pemenang pilpres.  

PENENTUAN CALON WAKIL PRESIDEN MENDONGKRAK SUARA ELEKTORAL  

Penentuan calon wakil presiden menjadi salah satu indikator untuk mendapatkan dukungan suara rakyat, paling kurang diharapkan dapat meningkatkan suara elektoral parpol pendukung, namun ternyata hal ini sangatlah mustahil dalam sistem kepartaian yang menganut banyak partai, kecuali baru saja terjadi dalam pilpres tahun 2024 ini yang akan menjadi catatan sejarah baru dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Sejarah ketatanegaraan mencatat Pilpres 2014 Jokowi dengan PDIP sebagai parpol pengusung, dan Muhamad Jusuf Kala dengan Partai Golkarnya sebagai parpol pengusung diharapkan kedua parpol besar ini dapat mendulang suara eletoral 5046 t 1 kursi di DPR, ternyata PDIP hanya meraih 109 kursi (1996) walaupun sebagai pemenang, sementara Partai Golkar 83 kursi (14,3096), sehingga total suara parpol pengusung yang memenangkan presiden dan wakil presiden hanya 33,3096 (jauh dari 5090 # 1 untuk sistem presidensiil yang ideal. Dan oleh karena itu berkoalisi dengan beberapa parpol lain adalah jalan yang harus ditempuh dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Beberapa partai yang tergabung sebagai partai koalisi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala bersama PDIP dan Partai Golkar di antaranya PKB 51 kursi (9,1996), PPP 39 kursi (6,6896), Partai Nasdem 39 kursi (6,9196), dan Partai Hanura 31 kursi (5,4996). Jumlah total kursi parpol koalisi 352 kursi (61, 5796) dari 560 kursi (10096). Maka tercapai 5096 # 1 partai koalisi pendukung pemerintah untuk sistem presidensiil yang ideal.  

Hukum harus bisa menjangkau pembatasan partai-partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah itu dengan tujuan terciptanya keseimbangan penyelenggaraan pemerintahan (check and balances), terselenggaranya pemerintahan yang demokratis berdasarkan hukum sebagai yang tertinggi pemandu kehidupan bernegara (supremacy of law), bukan supremasi kekuasaan. Kendati sistem presidensiil itu bertujuan menciptakan pemerintahan yang kuat, tetapi jangan sampai kehilangan kontrol sebagai fungsi yang melekat pada DPR. Fungsi kontrol DPR menjadi lemah dan tidak/kurang efektif, bahkan dapat menciptakan supremasi kekuasaan manakala semua partai politik itu berkoalisi dengan pemerintah. Hal ini pula bisa terjadi sampai ke daerah-daerah (provinsi, kabupaten, dan kota).

PDIP diharapkan tetap menjadi pilar kedaulatan yang setia kepada rakyat yang diwakilinya untuk tetap menjadi perimbangan dalam arti mengawasi dan mengkritisi kebijakankebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Secara formal walaupun hanya PDIP sendiri yang ada dalam sistem namun tidak sendirian, tetapi bersama seluruh rakyat Indonesia sebagai kelompok penekan lainnya seperti media, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan lainlain yang merasa ikut bertanggung jawab terhadap seluruh kehidupan bangsa dan negara.  

PENUTUP  

Akhir dari catatan ini, bahwa demokrasi tidak sekadar mendirikan partai-partai baru, tetapi partai-partai yang dapat memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, pengkaderan secara berkala dan harus memiliki ideologi yang bisa terdoktrin dalam setiap pribadi baik sebagai anggota partai maupun sebagai masyarakat. Dengan demikian mereka tidak akan beralih pilihan pada pemilihan-pemilihan berikutnya. Kalai ini yang terjadi diharapkan partai-partai politik dapat terseleksi secara alamia oleh waktu. Partai-partai yang tidak mencapai ambang batas untuk meraih kursi di DPR (parliamentary threshold) dengan sendirinya gugur dan tidak boleh mengikuti pemilu DPR/DPRD berikutnya.

Dengan demikian kita mengharapkan sistem ketatanegaraan yang ideal yakni sistem presidensiil yang dibarengi sistem kepartaian yang sederhana terdiri dari dua atau tiga partai. Partai pemenang menjadi partai penguasa, dan partai yang kalah menjadi partai oposisi. ***

Penulis : Dosen pengajar S1 Program Studi Ilmu Hukum FH Undana, Dosen pengajar S2 Program Studi Ilmu Hukum FH Undana, Dosen pengajar S1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Undana. Pernah mengajar S1 Ilmu Hukum FH Universitas Muhamadya, dan juga S1 Ilmu Hukum FH PGRI Kupang.

 

 

 

Dapatkan sekarang

NTT Zoom, Ringan dan cepat
0 Disukai