KUPANG,NTTzoom.com - Tugu atau Monument peringatan Tragedi 65 dengan 18 orang korban di Oesao Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang telah diresmikan, Sabtu (7/13/2024).
Tugu Peringatan itu dibangun atas prakarsa Yasayan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang dibangun tepat di lokasi kuburan masal bagi para korban ‘Tragedi 65 Oesao’ dikuburkan.
Peresmian tugu ditandai dengan pengguntingan pita dan pembukaan selubung penutup tugu secara bersama-sama oleh Penjabat Bupati Kupang, Alexon Lumba yang diwakili Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt Sekda) Kabupaten Kupang, Marthen Rahakbauw, bersama Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sugiro.
Selain itu, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani, Ketua Sinode GMIT Pendeta Samuel Pandie dan tokoh perempuan GMIT, Pendeta Merry Kolimon.
Marthen Rahakbauw mengatakan, tragedi 65 dan 66 adalah salah satu peristiwa kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yang membawa dampak mendalam tidak hanya bagi para korban, tetapi juga keluarga mereka dan masyarakat luas.
Bagi Marthen Rahakbauw, tugu dibangun sebagai wujud pengakuan akan luka sejarah, sekaligus undangan bagi semua untuk merenung, belajar dan terus memperjuangkan keadilan serta kebenaran.
“Saya memberi apresiasi kepada JPIT yang telah menginisiasi serta mewujudkan pembangunan tugu ini. Itu membuktikan bahwa perempuan memiliki peran sangat penting dalam merawat ingatan kolektif, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan menjadi agen perubahan sosial yang berani,” ujar Rahakbauw.
Marthen Rahakbau melanjutkan, tugu bukan hanya monumen fisik, tetapi juga monumen di hati dan pikiran untuk mengingatkan semua bahwa tragedi dan penderitaan manusia seperti itu tidak boleh lagi terulang.
Pemerintah Kabupaten Kupang berkomitmen untuk mendukung upaya rekonsiliasi dan penghormatan terhadap HAM, sekaligus menyampaikan rasa empati yang mendalam atas kehilangan yang dirasakah oleh keluarga korban.
Atnike Nova Sugiro mengatakan, melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2023 Presiden Republik Indoensia telah menegaskan peristiwa tahun 1965 dan 1966 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia, sesuai dengan apa yang menjadi temuan penyelidikan dari Komnas HAM sendiri.
Pemerintah sendiri menurut Atnike, mendorong mekanisme non judicial bagi korban berupa pemulihan, memorialisasi dan terlebih upaya agar peristiwa seperti itu tidak terulang kembali.
“Memorialisasi, pemulihan fisik, pemulihan psikis, keadilan dan pengakuan atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat, adalah hak dari korban. Kami menyadari bahwa korban dan keluarga korban akan selalu hidup dalam kenangan akan peristiwa kepahitan dan kehilangan tersebut, mereka adalah pahlawan yang mengingatkan pada bangsa kita mencegah peristiwa seperti itu terulang lagi. Jadi bagi para keluarga 18 korban peristiwa oesao, berdukalah tetapi berbahagialah, karena kehadiran tugu ini berkontribusi pada perkembangan bangsa Indonesia,” jelas Atnike.
Pendeta Samuel Pandie berterimakasih untuk pelukan dan menyampaikan pesan kepada para korban dan keluarga, bahwa tugu menumen tidak hanya ada di Oesao, tetapi ada dihati dan batu itu menjadi peringatan bahwa sesungguhnya Tuhan ada bersama berjaga-jaga.
GMIT sendiri ditegaskan Pendeta Pandie, juga menempatkan batu peringatan itu di hati, dan berdiri untuk advokasi kehidupan yang lebih baik sesuai ajaran Yesus Kristus, yang siap menjadi mitra bagi siapa saja termasuk para korban, untuk menemukan kehendak Allah di dunia ini.
Kegiatan peresmian dilanjutkan dengan ibadah bersama yang dipimpin Pendeta Merry Kolimon, dan penyerahan buku berjudul Memori-memori Terlarang, yang menceritakan peristiwa Tragedi 65 Oesao, yang disusun oleh tim JPIT, kepada para tokoh yang hadir. (jun/nz*)
Dapatkan sekarang